Kamis, 06 Oktober 2011

Shift paradigm


Paper 1

Shift paradigm

Nama : Muhammad Rizki
Npm : 28111558
Kelas : 1KB01

Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi
Universitas Gunadarma
2011
Apa yang dimaksud dengan Pergeseran Paradigma?

Pergeseran Paradigma adalah ketika perubahan yang signifikan terjadi - biasanya dari satu tampilan mendasar untuk pandangan yang berbeda. Dalam kebanyakan kasus, beberapa jenis diskontinuitas besar terjadi juga.

Thomas Kuhn menulis tentang Pergeseran Paradigma selama awal 1960-an, dan menjelaskan bagaimana "serangkaian selingan damai diselingi oleh intelektual revolusi kekerasan" menyebabkan "salah satu pandangan dunia konseptual untuk digantikan oleh pandangan lain."

. Dalam istilah awam, Pergeseran Paradigma adalah pergeseran, atau mungkin, populer tidak begitu populer atau transformasi dari cara kita memandang Manusia peristiwa, orang, lingkungan, dan kehidupan sama sekali.. Hal ini dapat pergeseran nasional atau internasional, dan bisa memiliki efek yang dramatis - baik positif atau negatif - pada cara kita menjalani hidup kita hari ini dan di masa depan.

II. Konsep Etika Pelayanan Publik
Etika. Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu
diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf
besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan
filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan
Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral),
sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1988), istilah etika disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada
tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau
disebut dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal
dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut
“filsafat moral”. Pendapat seperti ini mirip dengan pendapat yang ditulis dalam The
Encyclopedia of Philosophy yang menggunakan etika sebagai (1) way of life; (2) moral code
atau rules of conduct; dan (3) penelitian tentang unsur pertama dan kedua diatas (lihat
Denhardt, 1988: 28).
Salah satu uraian menarik dari Bertens (2000) adalah tentang pembedaan atas konsep
etika dari konsep etiket. Etika lebih menggambarkan norma tentang perbuatan itu sendiri –
yaitu apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya mengambil barang
milik orang tanpa ijin tidak pernah diperbolehkan. Sementara etiket menggambarkan cara
suatu perbuatan itu dilakukan manusia, dan berlaku hanya dalam pergaulan atau berinteraksi
dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam kalangan tertentu saja, misalnya memberi
sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri merupakan cara yang kurang sopan menurut
kebudayaan tertentu, tapi tidak ada persoalan bagi kebudayaan lain. Karena itu etiket lebih
bersifat relatif, dan cenderung mengutamakan simbol lahiriah, bila dibandingkan dengan
etika yang cenderung berlaku universal dan menggambarkan sungguh-sungguh sikap bathin.
Etika Pelayanan Publik. Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu
tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka
tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan
dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat,
kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan
publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Pelayanan publik ini
dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan,
perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dsb.Tujuan pelayanan publik
adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang
terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan
kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public service) identik dengan public
administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai kepentingan publik
(lihat J.L.Perry, 1989: 625). Dalam konteks ini pelayanan publik lebih dititik beratkan
kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy making, desain
organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan
publik, dimana pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggung jawab. Karya
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Yeremias T Keban.doc

Denhardt yang berjudul The Ethics of Public Service (1988) merupakan contoh dari
pandangan ini, dimana pelayanan publik benar-benar identik dengan administrasi publik.
Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan sebagai
filsafat dan profesional standards (kode etik), atau moral atau right rules of conduct (aturan
berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau
administrator publik (lihat Denhardt, 1988).
Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik diatas maka yang dimaksudkan
dengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek administrasi publik dan atau pemberian
pelayanan publik (delivery system) yang didasarkan atas serangkaian tuntunan perilaku (rules
of conduct) atau kode etik yang mengatur hal-hal yang “baik” yang harus dilakukan atau
sebaliknya yang “tidak baik” agar dihindarkan.
III. Pentingnya Etika dalam Pelayanan Publik
Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan administrasi dari politik
(dikotomi) menunjukan bahwa administrator sungguh-sungguh netral, bebas dari pengaruh
politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik bermunculan menentang
ajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai
ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam keputusan-keputusan publik atau
kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik mulai memberikan perhatian khusus terhadap
“permainan etika” yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan
seorang administrator atau aparat pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian
kriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria
moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum
(lihat Henry, 1995: 400).
Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya public
interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena pemerintahlah
yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini
pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan
politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb.
Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan
kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak
yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak
selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga,
kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang
birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi”
dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”.
Alasan lain lebih berkenaan dengan lingkungan didalam birokrasi yang memberikan
pelayanan itu sendiri. Desakan untuk memberi perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam
organisasi (organizational humanism) telah disampaikan oleh Denhardt. Dalam literatur
tentang aliran human relations dan human resources, telah dianjurkan agar manajer harus
bersikap etis, yaitu memperlakukan manusia atau anggota organisasi secara manusiawi.
Alasannnya adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern for people) dan
pengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan produktivitas, kepuasan dan
pengembangan kelembagaan.
Alasan berikut berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang terkadang
begitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Mempekerjakan pegawai negeri
dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya” merupakan
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 24 Th 2001\Yeremias T Keban.doc

prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar